Beberapa waktu lalu aku mencoba ikut kerja di sebuah bangunan, tidak berat hanya memoles dinding dengan lapisan dempul dan kemudian diwarnai dengan kuas roll. Ada sedikit perasaan gengsi tatkala seorang ibu bertanya kepadaku.
"Rapi-rapi dari mana dek?"
"Dari pulang kuliah bu"
Hari itu memang sengaja, aku pulang kuliah langsung menuju tempat kerja dan masih menggunakan baju kuliah karena memanfaatkan tumpangan dari teman itung-itung hemat biaya transportasi.. ckckck
"Kuliah dimana?" lanjut ibu itu bertanya.
"Emm.. Di STKIP bu"
"Ohh.. disebelah kan anak STKIP juga" lanjut ibu itu sambil menunjuk rumah tepat disebelah tempat ku berdiri.
"O, begitu ya. Ya sudah saya masuk dulu bu" aku masuk kerumah tempat ku bekerja, disitu sudah ada beberapa pekerja yang sedang sibuk denagn kerjaan masing-masing.
Aku kerja disitu memang bukan sebagai rutinitas, kebetulan saat itu pamanku yang memborong kerja disitu menargetkan rumah tersebut harus selesai akhir Desember, sementara pencapaian hasil pekerjaan masih jauh dari target. untuk mencari pekerja yang bisa dipercaya dan memiliki ketekunan sekarang ini memang susah, sehingga aku menawarkan diri karena kebetulan juga lagi butuh uang hehe :'-)
Sayangnya cerita ini bukan saya khususkan untuk kasus diatas, itu hanya sebagai pengantar tentang gambaran kecil perjuangan hidup. Apa yang saya hadapi hanyalah segelintir tantangan dalam hidup, sementara diluar sana, berapa banyak orang berjuang dengan segala kemampuan bahkan nyawa dipertaruhkan demi sesuap nasi/seteguk air yang halal.
Beberapa menit memulai pekerjaan, tiba-tiba paman menyuruhku membeli cat karena persediaan sudah menipis. lekas aku pergi dengan sebuah sepeda motor butut milik tukang yang kerja disitu juga, :D)__
Sebuah pemandangan tiba-tiba menghiasi perjalanku, Seorang bapak tua berpenampilan lusuh dengan gerobak butut yang didorong kesana kemari dengan berjalan kaki ditengah terik matahari seperti ini untuk berjualan es. Aku sendiri sebenarnya enggan keluar jika hanya untuk keperluan membeli dua atau tiga kaleng Cat, mungkin bisa memesan kemudian minta diantarkan, tapi karena persediaan hampir habis untuk sore ini ya mau tidak mau aku harus pergi juga.
Kembali aku memerhatikan bapak tua tadi, tiba-tiba ia berhenti tepat dibawah sebuah pohon kecil di tepi jalan. Sekedar merehat sebentar melepas kepenatan akibat panasnya matahari. Kupandangi raut wajah bapak tersebut sepertinya ia sangat kelelahan, lebih lelah daripada aku yang belum istirahat sejak pulang kuliah tadi. Aku fikir inilah sejatinya perjuangan, yang harus membiayai hidup dan membantu orang tua membiayai kuliah, ternyata diluar sana ada yang lebih pahit hidupnya.
"Air mataku sempat menetes tatkala tiba-tiba aku terbayang perjuangan ayah di pelosok desa sana, pagi-pagi mencangkul sawah untuk menghidupi padi yang kemudian hasilnya untuk makan dan sebagian dijual untuk menyekolahi aku dan saudaraku. Sorenya digunakan untuk mengurusi kebun, ada kopi, kelapa dan beberapa tanaman sayur, emang tak seberapa hasilnya. Tapi aku tahu, rezeki itu tidak memandang banyak atau sedikit, tapi berkahnya dan aku merasakan itu. Banyak yang mencemoohiku di kampung sana, mereka bilang aku tak tahu diri, sekolah ke kota, memfoya-foyakan keringat orang tuah sementara kau tak pernah ikut turun memeras keringatnya.
Air mataku kembali tumpah tatkala kembali membayangkan ibu yang sedang menyadap karet pohon demi pohon, tak banyak hasilnya hanya beberapa tetes setiap pohonnya, tapi dikumpulkan dua hari dapat satu ember. Cukuplah untuk membeli perlengkapan rumah, ada gula, ikan asin, atau paling istimewa jika ada yang berjualan ikan laut ibu baru beli. Bicara sayur di kampungku tidak susah, daun ubi dan pucuk2 pakis, kangkung, genjer tidak susah untuk didapat dan itu sangat nikmat.
Pernah suatu ketika, aku belum sekolah masih bocah.. tapi bukan bocah kota yang mainnya di warnet.
Kala itu aku ikut menyadap karet bersama ibu, tak tau pukul berapa, hari apa, tanggal berapa, bulan dan tahun berapa secara pasti perut kami mulai berbunyi itu artinya lapar, semua pasti tahu kan?.. ya, saatnya MAKAN dan ibu sudah mmbawa persiapan untuk itu.
Alangkah malangnya baru beberapa suap kami makan dalam sebuah mangkok, -jadi satu mangkok kami santap berdua- tiba-tiba sekawanan babi hutan datang, panik menyelamatkan diri karena takut + jijik. Akubatnya habis semua nasinya terpelanting. Ah dasar Babi, emang gak ada baik nya lu.
Itu hanyalah sepenggal kisah perjalan hidup sebelum hijrah ke Pontianak, masih banyak kisah yang harus aku ceritakan untuk membuktikan kepada dunia, bahwa "KALIAN HARUS BERSYUKUR DENGAN APA YANG TELAH DIMILIKI" Jangan pernah merasa bahwa keterbatasan dan kekurangan kita membuat kita Kufur dengan Nikmat yang telah Allah berikan. Ingat, diluar sana masih banyak orang yang jauh lebih pahit, getir menjalani hidup ini.
Aku tak bisa lebih lama mengingat masa-masa itu, karena secara terotomatisasi air mata pasti akan meleleh tatkala mengingat dan menyaksikan perjuangan orang tua utnuk membela buah kasihnya. Mereka tidak akan rela kau terjerumus dalam lembah kenistaan, ia tak akan rela menyaksikan buah hatinya hidup seperti mereka karena itu, mereka sekolahkan kamu tinggi-tinggi agar kau dapat membahagakannya kelak, saat tua hingga ajalnya tiba.
Ayah, Ibu, Sungguh aku mencintaimu karena Allah, dan terpatri dalam jiwaku, "KAULAH SEJATINYA PAHLAWANKU"
Kecupan manis dari anakmu
Mohon maaf jika ada terdapat salah kata, atau ada perkataan yang menyinggung.